“Sifat adalah Zat” atau “Sifat pada Zat ” ?

Dzat dan Sifat

“Sifat adalah Zat” atau “Sifat pada Zat”

Ada perdaan pendapat dikalangan Para Ulama tentang masalah sifat. Apakah ” sifat itu sama dengan zat atau tidak”.

Dikalangan Ulama Ahlush-Sunnah Mazhab Asy’ari berpendapat bahwa ”SIFAT ALLAH ITU QODIM (sedia lebih dulu) SEPERTI ZATNYA JUGA. SIFAT UJUDNYA JUA…. Antara sifat dan zat tidak terpisah cerai. Dengan kata lain ”sifat adalah makna yang melekat pada zat” atau ”sifat merupakan tambahan pada zat” atau ”sifat merupakan tambahan pada zat menurut makna”.

Oleh sebab itu mazhab ini berpendapat bahwa ALLAH MAHA KUASA DENGAN KUASAAN-NYA, MAHA BERKEHENDAK DENGAN KEHENDAK-NYA, MAHA TAHU DENGAN PENGETAHUAN-NYA, MAHA HIDUP DENGAN KEHIDUPAN-NYA, MAHA MENDENGAR DENGAN PENDENGARAN-NYA, MAHA MELIHAT DENGAN PENGLIHATAN-NYA, MAHA BERKATA-KATA DENGAN PERKATAAN-NYA.

Adapun kalangan para sufi qaddasallahu asra-hum, adalah tegas. SIFAT ADALAH DIRI MAUSUF (sifat adalah didzatya yang disifati) tidak ada perbedaan pada makna, tidak pula merupakan tambahan pada Zat dan bukan pula pada Zat.

Dengan pendapat ini jelaslah bahwa :

ALLAHU QODIRUN BIDZATIHI, ALLAHU MURIDUN BIDZATIHI, ALLAHU ‘ALIMUN BIDZATIHI, ALLAHU BASHIRUN, MUTAKALAMUN BIDZATIHI.

Mereka yang berpendapat ini tetap pada pendiriannya karena melalui jalan musyahadah yang terus menerus. Selain itu mereka (Ahlussufi) mengambil dalil akal bahwa bilamana sifat itu lain dari mashuf berarti Allah itu tidak dapat dikenal kalu tidak disertai dengan sifat, atau dengan perkataan lain bahwa ”Allah berhajat kepada sifat”. Agar dia dapat dikenal.

Mha Sucilah Allah dari hal yang demikian, karen Allah itu nyata dari segala yang nyata………… demikian kata-kata Syekh Muhammad ibnu ’Abdul Karim As-saman Almadani.

Tentang pendapat yang menyatakan bahwa sifat itu adalah melekat atau merupakan tambahan pada Zat (Maddhab Asy’ari) didasarkan kepda pendapat akal pula menurut sepanjang pengertian tata bahasa.

Sifat adalah termasuk ISIM MUSYTAQ (Isim yang diterbitkan). Maka tiap-tiap ada isim musytaq pasti ada musytaq minhu (sumber terbinta).

Cantohnay seperti Qodirun ini adalah isim musytaq. Pastilah Qodirun itu bersumber dari adanya Qodrat, maka Qudrat inilah musytaq minhu untuk berkata-kata Qodirun.

Bagaimanapun juga Qudrat bakanlah Zat munurut arti bahasa, tetapi sifat Qudrat itu pasti tidak akan berdiri sendiri tanpa adanya Zat, kedua-duanya tidak terpisah cerai.

Menurut pendapat pengarang Durunnafis yaitu Syekh M. Nafis bahwa pendapat diatas ini dapat kita pakai “sebelum kita sampai kepada tingkat MUKAFAHAH (berhadap-hadapan) dan tingkat MUSYAHADAH”.

Namun sebenarnya bila sudah tingkat mukafanah dan juga telah mencapai musyahadah pasti akan jelas terlihat pada pengertian bahwa ”sifat itu tidak lain dari maushuf”.

Dapat dimisalkan sebagai berikut, seseorang yang berada di jawi (Indonesia) umpamanya mendengar berita-berita orang lain tentang ”hajarul aswad” yang terletak disudut Baitullah di Mekkah. Si penerima berita akan tentu membayangkan ”bahwa ada satu batu yang melekat padanya warna hitam”.

Bayangkan yang demikian pasti tidak akan sama dengan keadaan yang sebenarnya bila dibandingkan antara bayangan dengan hajarul-aswad atau dengan perkataan lain, tidak semua batu hitam itu hajarul-aswad.

Bila sipenerima itu datang langsung ke kota mekkah/Baitullah dan langsung pula ”memandang” dan ”behadap-hadapan” dengan hajarul-aswad, dia pasti akan berkata ”inilah dia hajrul aswad yang disifatkan orang”.

Perbedaan pendapat antara Ahlussufi dengan Mu’tazilah tentang ”sifat adalah Zat”.

Dengan memecahkan masalah sifat antara Ahlussufi dengan Mu’tazilah mempunyai susunan kata yang sama tetapi berbeda jauh dengan makna.

Pendapat Mu’tazilah bahwa sifat itu adalah zat (catatan : Mu’tazilah tidak meyakini Allah mempunyai sifat) adalah dengan pengertian “ittihad” (terpadu) seolah-olah sifat dalam arti “ujud istiqlal” dan Zat dalam arti “ujud istiqlal” (ada sebagian). Sebagaian dengan sebagian yang lain berpadu sebagai tercampurnya gula (sakar nabat) dengan air.

Tiga pendapat yang berbeda

1.   Mu’tazilah                         : a) SIFAT ADALAH ZAT, dengan lain perkataan Allah tidak mempunyai sifat. Kalau Allah bernama Qodirun, maka Kuasa berpadu (ittihad) dengan Zat.

                                                  b)  Sifat hamba mutlak adalah milik hamba.

2.  Asy’ariyah                          :   a)  Sifat melekat pada Zat menurut makna. Hal ini dilihat dari segi bahasa. Sedang pada hakekatnya adalah “laisa kamistlihi syaiuun”.

b) Sifat hamba adalah amanah Allah pada hamba dan bukan milik hamba secar mutlak.

3.  Ahl-Kasyaf                         : a) Sifat adalah maushuf (yang disifati). Hal ini dipahami dengan jalan kasyaf pada maqom musyahadah/mukafahah.

b) Sifat hamba adalah mazhar sifat Allah., dalam arti hakiki, hamba tidak memiliki apa-apa.

Dari pendapat-pendapat itu hanya 2 (dua) pendapat yang sudah umum diterima yaitu yang ke 2 dan ke 3, sedangkan yang ke 1 diklaim fasik.

Itulah sekilas pembahasan tentang Dzat dan Sifat

Satu pemikiran pada ““Sifat adalah Zat” atau “Sifat pada Zat ” ?”

  1. Assalamualaikum
    Saudaraku sekalian. Mengapakah cara kita memperjelaskan ilmu Allah SWT itu terlalu payah dengan bahasa dan pengertiannya? Tidakkah ada cara yang semudah saperti kita mempelajari Solat dan segala Rukun Islam dan Rukun Iman itu juga? Kami yakin Allah SWT tidak membertkan Tauhid dan kami rasa para Alim Ulama lah yang memberatkannya sehingga ramai takut untuk menghampiri Islam. Sahaja pendapat kami.

    Balas

Tinggalkan komentar

You cannot copy content of this page